ADA 4 perinsip belajar abad ke-21 yang digagas oleh badan PBB Unesco berkaitan dengan literasi. 4 perinsip itu adalah learning to think (belajar berpikir), learning to do (belajar berbuat), learning to be (belajar diri sendiri), dan learning to live together (belajar hidup bersama). Untuk Indonesia, pemerintah berdasarkan Permen nomor 23 tahun 2015 memberikan nama dengan Gerakan Literasi Sekolah (GLS). Dimana sasaran dari GLS tersebut lembaga pendidikan tingkat SD, SMP, SMA/SMK.
Apakah Gerakan Literasi Sekolah itu? Gerakan Literasi Sekolah dan selanjutnya disingkat GLS, merupakan sebuah gerakan penyadaran literasi yang dimiliki oleh lembaga pendidikan dengan melibatkan semua warga sekolah. Terdiri dari guru, peserta didik, orangtua/wali murid, dan ditambah dengan masyarakat. Dipilihnya sekolah sebagai tempat pelaksanaan GLS, karena merupakan suatu lembaga yang memiliki guru sebagai tenaga pendidik dan teladan bagi siswa. Sebagai sasaran utama gerakan literasi, siswa mempunyai pusat kegiatannya berupa perpustakaan sekolah.
Adanya gerakan literasi di sekolah atau yang disebut juga program rutin membaca dan menulis mempunyai tujuan mulia untuk peningkatan kualitas siswa. Dengan kegiatan rutin 15 menit membaca buku non pelajaran, sebelum proses pembelajaran. Bertujuan agar siswa memiliki budaya membaca dan menulis sehingga tercipta pembelajaran sepanjang hayat.
Gerakan itu dibudayakan dengan menyediakan “sudut baca” di setiap kelas yang diisi dengan bermacam buku selain buku pelajaran. Bagaimana kabar perkembangan GLS disetiap lembaga pendidikan setelah dicanangkan pemerintah tersebut? Sesuai dengan profil sekolah mulai dari tingkat SD, SMP, SMA/SMK diharuskan memiliki perpustakaan sebagai sumber kegiatan literasi. Perpustakaan sekolah sebagai sumber belajar, harus mampu menjawab tantangan siswa yang menjadi sasaran utama dalam gerakan literasi. Karena perpustakaan adalah ikon kebudayaan, dan peradaban suatu bangsa bisa diamati dari bagaimana keadaan perpustakaan nasionalnya.
Kepala sekolah sebagai motivator bersama guru, hendaklah berada digarda terdepan untuk menggerakkan keberlangsungan GLS tersebut. Oleh sebab itu diperlukan program berkelanjutan yang jelas dan terarah, agar gerakan literasi itu tidak hanya asal jalan serta salah sasaran. Sebab mustahil suatu gerakan literasi di sekolah berjalan dengan baik, jika pimpinan sekolah dan gurunya tidak satu maksud dan tujuan. Untuk itu sangat diperlukan minat dan kegemaran membaca yang tinggi dari setiap warga sekolah. Jika warga sekolah punya minat baca dan menulis rendah atau tidak sama sekali, bisa dipastikan GLS tidak bakal jalan. Siswa memiliki budaya membaca dan menulis yang tinggi sepanjang hayatnya tentu tidak akan terwujud.
Adanya kegiatan literasi selama 15 menit sebelum proses pembelajaran dilaksanakan sangat diperlukan pengawasan dari pimpinan sekolah. Kepala sekolah diminta piawai dan bijak untuk memberdayakan guru agar gerakan literasi terlaksana dengan baik. Sebagai pimpinan, ia terlebih dulu harus melek dengan GLS, sekaligus harus memahami apa itu GLS beserta tujuannya. Diantara tujuan GLS dilaksanakan, adalah untuk “memecahkan” permasalahan yang dihadapi generasi anak sekolah di negeri ini dalam soal minat baca dan kegemaran menulis. Dilain itu, GLS juga bertujuan untuk memperkuat gerakan penumbuhan budi pekerti seperti dituangkan dalam Permendikbud nomor 23 tahun 2015. Adanya kegiatan 15 menit membaca buku non pelajaran sebelum waktu belajar, diharapkan mendatangkan banyak manfaat.
Seperti menumbuhkan minat baca peserta didik, mengikat keterampilan membaca agar pengetahuan dapat dikuasai siswa secara lebih baik. Karena itu materi bacaan non pelajaran yang dibaca hendaknya berisi nilai-nilai budi pekerti, berupa kearifan lokal, nasional dan dunia global yang setiap saat terus berkembang. Agar GLS menjadi suatu kegiatan rutinitas di sekolah sangat diperlukan kesatuan gerak dan tujuan dari semua pihak. Seperti pihak sekolah yang terdiri dari pimpinan sekolah, guru siswa, pengelola perpustakaan, orangtua siswa dan pemerintah serta media massa. Kenapa untuk semuanya itu diperlukan satu kesatuan gerak dan tujuan? Seperti sekolah berfungsi sebagai tempat pelaksanaan gerakan literasi. Guru sebagai tenaga pendidik dan teladan bagi siswa dalam gerakan literasi. Pemerintah daerah (dinas pendidikan) sebagai pembuat suatu
kebijakan. Pengelola perpustakaan sebagai pusat kegiatan baca tulis, media massa sebagai penyalur informasi masyarakat. Sedangkan orangtua siswa sebagai mesin penggerak dasar dari gerakan literasi itu dalam keluarga di rumah. Semoga!
(Refdinal Castera, S. Pd)