Payakumbuh (RangkiangNagari) - Wali Kota Riza Falepi mengatakan ada persoalan mendasar terhadap undang-undang pemekaran Kota Payakumbuh yang dinilai Riza terlalu sederhana. Ini adalah konsekuensi dari tidak terlalu jelasnya Undang-Undang pembentukan Kota Payakumbuh yakni UU Nomor 8 tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Kota Kecil Dalam Lingkungan Daerah Provinsi Sumatera Tengah, sehingga inilah yang menjadi akar persoalan terkait berbagai hal antara Kota Payakumbuh dan Kabupaten Limapuluh Kota.
“Itu saja baru bisa dieksekusi tahun 1970, ini menunjukkan banyaknya persoalan. Bayangkan 13 tahun sejak lahirnya undang-undang itu baru bisa lahir Kota Payakumbuh. Ini salahsatu kekurang sempurnaannya,” ujar Riza kepada media, Jumat (23/4).
Menurut Riza, DPRD Payakumbuh terkesan terburu-buru membuat panitia khusus (pansus) aset, seharusnya terlebih dahulu dikaji secara mendalam dan membaca undang-undang pembentukan kota ini.
“Ketika saya baca undang undang yang lama, undang-undangnya sederhana karena tidak menyatakan dimana ibu kota Payakumbuh, tidak menyatakan bagaimana status aset (harta gono gini) secara eksplisit, batas wilayah, dan beberapa ketetapan mandatori,” kata Riza.
Menurutnya, kelemahan undang-undang ini harus dicarikan jalan keluarnya, pada akhirnya penyelesaian harus dilakukan secara kesepakatan mufakat yang diharapkan meminimalisir pertikaian dan perselisihan. Sedangkan kalau aturan hukum (undang-undang-Red) itu yang menjadi pedoman, tidak akan ada titik temu.
“Dampak dari kelemahan undang-undang ini menimbulkan perselisihan saat itu. Berkemungkinan karena terlalu simpel dan tidak relevan lagi dengan sistem pemekaran daerah di zaman reformasi, pemangku kebijakan pasca reformasi belajar dari pengalaman yang ada. Karena undang-undang pemekaran daerah itu unik, tidak bisa disamakan pemekaran daerah satu dengan yang lain, akhirnya pasal dalam bab undang-undang itu dibuat lebih detail,” kata Riza.
Pansus DPRD Jangan Terpaku Dengan Persoalan Aset Saja
Wali Kota Riza berharap substansi Pansus DPRD harusnya mengarah ke sana, jangan hanya merujuk kepada aset saja, karena itu baru salah satu persoalan akibat dari simpelnya undang-undang lahirnya Kota Payakumbuh.
“Contohnya saja tidak ada kesepakatan penyelesaian antara pemko dan pemkab terkait batas wilayah, maka akhirnya penyelesaian diselesaikan di tingkat provinsi dan kementerian dalam negeri. Mungkin juga bisa jadi masalah aset ini sampai diurus juga oleh kemendagri,” terangnya.
Tapi menurut Riza, bila kemendagri yang turun tangan memutuskan sendiri terhadap batas wilayah yang diperselisihkan dua daerah dan aset, dirasa Riza kurang baik, dan hasilnya akan menyakitkan beberapa pihak.
“Padahal cara penyelesaian terbaik tidak dengan melibatkan kemendagri. Tapi kemufakatan antar nagari yang berbatasan di kota dan kabupaten, ada kesepakatan antara kedua belah pihak. Diputuskan batas adat, yang akan memunculkan batas nagari. Dahulu awalnya Payakumbuh dibentuk dengan 7 kenagarian, sekarang berkembang jadi 10 nagari, sudah ada batas yang disepakati, kalau urusan itu diserahkan kepada orang lain, bakal tidak baik,” kata Riza.
Payakumbuh Belum Punya Ibu kota Sampai Sekarang
Riza menjelaskan dirinya belum menemukan berkas, dan dirinya meminta agar diingatkan kalau dirinya salah, yaitu aturan yang menyatakan dimana ibu kota Payakumbuh. “Limapuluh Kota punya ada ibukota Sarilamak, kita Payakumbuh Ibukotanya dimana?” tanya Riza.
DPRD Kota Payakumbuh harus kembali ke akar persoalannya yaitu undang-undang lahirnya Kota Payakumbuh. Undang-undang ini sederhana dan simpel, tidak sama dengan undang-undang pasca reformasi yang dengan detail sudah menjelaskan hingga ke ibu kota suatu daerah.
“Undang-undang yang lama itu kabur, tak jelas, untuk itu seharusnya kita bersama mau duduk sebagai orang Luak Limopuluah untuk memperjelas ini. Penjelasan serinci ini jangan biarkan eksekutif menyelesaikannya sendiri, ributnya akhirnya menjadi kemana-mana, baca dulu undang-undangnya, dilihat kelemahannya dan dibandingkan,” kata Riza.
Riza menyebut sampai saat ini dirinya justru berbicara sesuai koridor aturan yang ada sebagai seorang kepala daerah. Contohnya saja sampai hari ini, kawasan eks kantor bupati menjadi kawasan terbuka hijau menurut Peraturan Daerah Kota Payakumbuh Nomor 2 Tahun 2018 tentang Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kota Payakumbuh Tahun 2018-2038.
“Kenapa itu malah jadi kantor sampai saat ini? Secara sederhana, kalau seandainya Riza belum mempersoalkan terkait aturan itu, artinya Riza masih memaklumi hubungan baik antar daerah, dirinya dengan tegas mengatakan tidak meminta aset pemkab seperti kawasan eks kantor bupati.
“Mau dibiarkan silahkan, mau membangun apa saja asal sesuai tata ruangnya Payakumbuh akan diberi izin, dipermudah dan gampang. Tapi kalau ingin membangun dengan harus merubah tata ruang Payakumbuh, maka pemkab mau-tak mau harus bicara dengan Pemko Payakumbuh,” ujarnya.
“Kalau Pihak Pemko Payakumbuh mempersoalkan aset, itu inisiatif DPRD Payakumbuh karena mereka yang membentuk pansus, bukan keinginan wali kota. Saya menduga ada orang yang berkepentingan yang tidak mau urusan ini tidak kunjung selesai. Sehingga ini lah yang membuat kita katanya seperti harus berurusan dengan bapak tiri,” pungkas Riza.
#Ryan