JAKARTA(RS) – Sawit adalah salah satu dari hasil perkebunan yang harga jualnya mengkhawatirkan. Misngadi, petani SPI asal Riau contohnya, di daerahnya ia menyebutkan kalau harga TBS (tandan buah segar) sawit berkisar di Rp 600 – Rp 800 per Kg. Tak jauh berbeda dengan Riau, Wagimin, petani SPI asal Asahan Sumatera Utara juga menyampaikan kalau harga TBS di daerahnya di kisaran Rp 600 – 900 per Kg.
“Kalau harga segitu kami petani pasti merugi, minimal di Rp 1.200 per Kg lha,” kata Wagimin sore ini (17/12).
Menanggapi hal ini, Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih menyampaikan, ia setuju dengan pandangan Presiden Joko Widodo bahwa jatuhnya harga kelapa sawit saat ini akibat dari ketergantungan terhadap pasar global.
“Sebagaimana kita ketahui beberapa negara yang selama ini membeli kelapa sawit ke Indonesia melakukan pembatasan terhadap kelapa sawit. Ini karena negara-negara tersebut juga ingin mengembangkan komoditas pertaniannya yang bisa menggantikan minyak sawit,” kata Henry.
Henry melanjutkan, SPI juga setuju dengan imbauan Presiden Jokowi agar para petani Indonesia tidak tergantung pada sawit tapi mengkonversi tanamannya untuk tanaman pangan seperti padi, jagung, kedelai. dan tanaman hortikutura; juga bisa buah-buahan seperti durian, manggis, jengkol.
“Bisa juga dikonversi ke tanaman enau untuk produksi gula dan tanaman-tanaman itu bisa mendorong dikembangkannya peternakan lebah madu,” tuturnya.
Henry berharap pemerintah memberikan dukungannya tidak hanya untuk menaikkan harga kelapa sawit tapi juga membantu petani agar bisa mengkonversi lahannya ke non sawit, terutama di masalah dana.
“Petani-petani kita punya kapasitas untuk mengkonversinya, baik untuk jangka pendek atau jangka panjang. Kelapa sawit tua bisa ditebang dalam waktu setahun bisa hasilkan jagung, pisang, ini untuk jangka pendek,” imbuhnya.
“Sudah banyak petani SPI yang mengkonversi lahannya dari sawit ke tanaman pangan, seperti di daerah Kabupaten Padang Lawas, Sumatera Utara yang beralih menanam padi,” katanya.
Henry melanjutkan, kebun-kebun sawit juga bisa dikonversi untuk ladang penggembalaan ternak baik itu sapi, kerbau atau kambing, karena hari ini Indonesia masih impor sapi, kerbau, dan susu dalam jumlah besar.
“Kita sebenarnya tak kesulitan untuk mengkonversi lahan perkebunan sawit tersebut karena selama ini SPI sudah memprediksi bakal terjadi hal seperti ini karena terlalu tergantung pada pasar global yang dilakukan oleh rezim pemerintahan sebelumnya,” paparnya.
Henry mengingatkan terjadi “over-production” dari tanaman sawit ini dikarenakan pemerintahan sebelumnya tidak memiliki perencanaan dalam menanam seberapa banyak kelapa sawit.
“Sehingga hari ini misalnya dari BPS memprediksi luas kebun kelapa sawit kita ada 14 juta hektar lebih, bahkan ada yang memprediksikan lebih dari jumlah tersebut. Ini karena tidak ada perencanaan yang baik tersebut. Jadi kita menyambut baik keputusan moratorium kelapa sawit yang dilakukan pemerintahan sekarang,” tuturnya
Henry menambahakn, SPI mengapresiasi langkah pemerintah Jokowi – JK yang ingin menyegerakan pelaksanaan reforma agraria sejati.
“Untuk lahan yang HGU-nya habis ataupun lahan terlantar segera dikonversi ke lahan pertanian pangan berkelanjutan dengan konsep terapan pertanian agroekologi – pertanian ramah lingkungan, non monokultur, organik, menghentikan ketergantungan petani dari input-input kimia, guna menyelamatkan alam,” tutupnya.
Kontak selanjutnya:
Henry Saragih – Ketua Umum SPI – 0811 655 668
Wagimin – Petani Sawit SPI Sumatera Utara – 0853 6212 1510
Misngadi – Petani Sawit SPI Riau – 0812 7620 506
“Kalau harga segitu kami petani pasti merugi, minimal di Rp 1.200 per Kg lha,” kata Wagimin sore ini (17/12).
Menanggapi hal ini, Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih menyampaikan, ia setuju dengan pandangan Presiden Joko Widodo bahwa jatuhnya harga kelapa sawit saat ini akibat dari ketergantungan terhadap pasar global.
“Sebagaimana kita ketahui beberapa negara yang selama ini membeli kelapa sawit ke Indonesia melakukan pembatasan terhadap kelapa sawit. Ini karena negara-negara tersebut juga ingin mengembangkan komoditas pertaniannya yang bisa menggantikan minyak sawit,” kata Henry.
Henry melanjutkan, SPI juga setuju dengan imbauan Presiden Jokowi agar para petani Indonesia tidak tergantung pada sawit tapi mengkonversi tanamannya untuk tanaman pangan seperti padi, jagung, kedelai. dan tanaman hortikutura; juga bisa buah-buahan seperti durian, manggis, jengkol.
“Bisa juga dikonversi ke tanaman enau untuk produksi gula dan tanaman-tanaman itu bisa mendorong dikembangkannya peternakan lebah madu,” tuturnya.
Henry berharap pemerintah memberikan dukungannya tidak hanya untuk menaikkan harga kelapa sawit tapi juga membantu petani agar bisa mengkonversi lahannya ke non sawit, terutama di masalah dana.
“Petani-petani kita punya kapasitas untuk mengkonversinya, baik untuk jangka pendek atau jangka panjang. Kelapa sawit tua bisa ditebang dalam waktu setahun bisa hasilkan jagung, pisang, ini untuk jangka pendek,” imbuhnya.
“Sudah banyak petani SPI yang mengkonversi lahannya dari sawit ke tanaman pangan, seperti di daerah Kabupaten Padang Lawas, Sumatera Utara yang beralih menanam padi,” katanya.
Henry melanjutkan, kebun-kebun sawit juga bisa dikonversi untuk ladang penggembalaan ternak baik itu sapi, kerbau atau kambing, karena hari ini Indonesia masih impor sapi, kerbau, dan susu dalam jumlah besar.
“Kita sebenarnya tak kesulitan untuk mengkonversi lahan perkebunan sawit tersebut karena selama ini SPI sudah memprediksi bakal terjadi hal seperti ini karena terlalu tergantung pada pasar global yang dilakukan oleh rezim pemerintahan sebelumnya,” paparnya.
Henry mengingatkan terjadi “over-production” dari tanaman sawit ini dikarenakan pemerintahan sebelumnya tidak memiliki perencanaan dalam menanam seberapa banyak kelapa sawit.
“Sehingga hari ini misalnya dari BPS memprediksi luas kebun kelapa sawit kita ada 14 juta hektar lebih, bahkan ada yang memprediksikan lebih dari jumlah tersebut. Ini karena tidak ada perencanaan yang baik tersebut. Jadi kita menyambut baik keputusan moratorium kelapa sawit yang dilakukan pemerintahan sekarang,” tuturnya
Henry menambahakn, SPI mengapresiasi langkah pemerintah Jokowi – JK yang ingin menyegerakan pelaksanaan reforma agraria sejati.
“Untuk lahan yang HGU-nya habis ataupun lahan terlantar segera dikonversi ke lahan pertanian pangan berkelanjutan dengan konsep terapan pertanian agroekologi – pertanian ramah lingkungan, non monokultur, organik, menghentikan ketergantungan petani dari input-input kimia, guna menyelamatkan alam,” tutupnya.
Kontak selanjutnya:
Henry Saragih – Ketua Umum SPI – 0811 655 668
Wagimin – Petani Sawit SPI Sumatera Utara – 0853 6212 1510
Misngadi – Petani Sawit SPI Riau – 0812 7620 506
#Ryan