JAKARTA(RS) –Banyak klaim keberhasilan pembangunan pemerintah tak sesuai kenyataan atau bertolak belakang dengan rencana awal yang dijanjikan. Pemerintah tak punya road map yang jelas, karena orientasinya menjadikan pembangunan hanya etalase politik.
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon dalam catatan akahir tahunnya menyatakan, semula, pemerintahan Presiden Joko Widodo berapi-api menggulirkan jargon “Revolusi Mental”, namun bahkan sebelum genap empat tahun jargon itu telah lenyap diganti klaim pembangunan infrastruktur fisik. Masalahnya, klaim pembangunan infrastruktur juga sering kali mengambil hasil-hasil pembangunan dari pemerintahan terdahulu atau hasil pemerintah provinsi dan kabupaten. Pembangunan Bandara Kertajati di Majalengka sebenarnya keberhasilan pemerintah Provinsi Jawa Barat di bawah Gubernur Ahmad Heryawan, tapi kini diklaim seolah hasil pemerintah pusat sekarang.
Begitu juga dengan jargon pembangunan Poros Maritim. Pemerintah pernah berbusa-busa memperkenalkan konsep tol laut, tapi yang dibangun justru tol berbayar di darat. Itupun, banyak dibiayai oleh utang yang kini membebani keuangan BUMN.
Adanya kesenjangan antara konsep atau janji dengan realisasi menunjukkan bahwa sejak awal pemerintahan ini memang tak memiliki strategi pembangunan yang jelas. Ini membuat sebagian besar proyek pembangunan menjadi tak realistis, karena memang tak berangkat dari proyeksi kebutuhan dan perencanaan matang. Selain itu, pembangunan gagal menstimulus pertumbuhan ekonomi yang dijanjikan 7-8%.
Pembangunan mestinya juga dilakukan berdasarkan kebutuhan dan kemampuan, bukan untuk kepentingan etalase politik atau pencitraan semu. Mahal sekali harga yang harus dibayar oleh rakyat Indonesia nantinya. Dalam empat tahun terakhir, misalnya, anggaran publik dan juga utang sektor publik secara jor-joran digunakan untuk pembangunan infrastruktur, dengan mengabaikan kebutuhan lainnya. Jika hasil pembangunan itu utilisasinya minim, bukankah itu merugikan dana publik yang telah dihabiskan.
Ia juga melihat klaim-klaim keberhasilan pembangunan ekonomi pemerintah cenderung membodohi publik. Contoh klaim pembangunan jalan tol. Jalan tol itu sebagian infrastruktur swasta, bukan infrastruktur publik. Ttol berbayar adalah bentuk berbisnis dengan rakyat bukan pelayanan.
Infrastruktur publik itu adalah jalan nasional, jalan provinsi, jalan kabupaten, dan sejenisnya, bukan jalan tol, karena masyarakat harus membayar jika ingin menggunakan jalan tol. Masalahnya, alih-alih memperbaiki jalan lintas Sumatera, misalnya, atau jalan-jalan arterinya yang rusak, Pemerintah malah berniat membangun jalan tol lintas Sumatera. “Lalu di mana sifat ‘publik’-nya?” tanyanya.
Jalan tol adalah obsesi pembangunan yang salah, karena jalan tol yang kini ada sebenarnya hanyalah infrastruktur bagi kendaraan pribadi, hanya memberikan insentif bagi pengguna kendaraan pribadi atau operator transportasi yang bersifat privat. Padahal yang mestinya dibangun pemerintah adalah sarana transportasi publik berbasis rel, bukannya jalan tol.
Klaim keberpihakan terhadap pembangunan maritim juga tak sejalan dengan perbaikan nasib para nelayan. Dalam empat tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo, misalnya, sebagian nelayan dan usaha penangkapan ikan justru harus berhenti beroperasi, karena persoalan perizinan. Mestinya ada perlindungan terhadap para nelayan tradisional.
Secara keseluruhan, setahun terakhir pemerintahan memang banyak mengklaim keberhasilan, namun klaim-klaimnya sebenarnya banyak yang bermasalah.
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon dalam catatan akahir tahunnya menyatakan, semula, pemerintahan Presiden Joko Widodo berapi-api menggulirkan jargon “Revolusi Mental”, namun bahkan sebelum genap empat tahun jargon itu telah lenyap diganti klaim pembangunan infrastruktur fisik. Masalahnya, klaim pembangunan infrastruktur juga sering kali mengambil hasil-hasil pembangunan dari pemerintahan terdahulu atau hasil pemerintah provinsi dan kabupaten. Pembangunan Bandara Kertajati di Majalengka sebenarnya keberhasilan pemerintah Provinsi Jawa Barat di bawah Gubernur Ahmad Heryawan, tapi kini diklaim seolah hasil pemerintah pusat sekarang.
Begitu juga dengan jargon pembangunan Poros Maritim. Pemerintah pernah berbusa-busa memperkenalkan konsep tol laut, tapi yang dibangun justru tol berbayar di darat. Itupun, banyak dibiayai oleh utang yang kini membebani keuangan BUMN.
Adanya kesenjangan antara konsep atau janji dengan realisasi menunjukkan bahwa sejak awal pemerintahan ini memang tak memiliki strategi pembangunan yang jelas. Ini membuat sebagian besar proyek pembangunan menjadi tak realistis, karena memang tak berangkat dari proyeksi kebutuhan dan perencanaan matang. Selain itu, pembangunan gagal menstimulus pertumbuhan ekonomi yang dijanjikan 7-8%.
Pembangunan mestinya juga dilakukan berdasarkan kebutuhan dan kemampuan, bukan untuk kepentingan etalase politik atau pencitraan semu. Mahal sekali harga yang harus dibayar oleh rakyat Indonesia nantinya. Dalam empat tahun terakhir, misalnya, anggaran publik dan juga utang sektor publik secara jor-joran digunakan untuk pembangunan infrastruktur, dengan mengabaikan kebutuhan lainnya. Jika hasil pembangunan itu utilisasinya minim, bukankah itu merugikan dana publik yang telah dihabiskan.
Ia juga melihat klaim-klaim keberhasilan pembangunan ekonomi pemerintah cenderung membodohi publik. Contoh klaim pembangunan jalan tol. Jalan tol itu sebagian infrastruktur swasta, bukan infrastruktur publik. Ttol berbayar adalah bentuk berbisnis dengan rakyat bukan pelayanan.
Infrastruktur publik itu adalah jalan nasional, jalan provinsi, jalan kabupaten, dan sejenisnya, bukan jalan tol, karena masyarakat harus membayar jika ingin menggunakan jalan tol. Masalahnya, alih-alih memperbaiki jalan lintas Sumatera, misalnya, atau jalan-jalan arterinya yang rusak, Pemerintah malah berniat membangun jalan tol lintas Sumatera. “Lalu di mana sifat ‘publik’-nya?” tanyanya.
Jalan tol adalah obsesi pembangunan yang salah, karena jalan tol yang kini ada sebenarnya hanyalah infrastruktur bagi kendaraan pribadi, hanya memberikan insentif bagi pengguna kendaraan pribadi atau operator transportasi yang bersifat privat. Padahal yang mestinya dibangun pemerintah adalah sarana transportasi publik berbasis rel, bukannya jalan tol.
Klaim keberpihakan terhadap pembangunan maritim juga tak sejalan dengan perbaikan nasib para nelayan. Dalam empat tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo, misalnya, sebagian nelayan dan usaha penangkapan ikan justru harus berhenti beroperasi, karena persoalan perizinan. Mestinya ada perlindungan terhadap para nelayan tradisional.
Secara keseluruhan, setahun terakhir pemerintahan memang banyak mengklaim keberhasilan, namun klaim-klaimnya sebenarnya banyak yang bermasalah.
#Ryan